“Coba kau lihat. Berapa pun mereka berusaha keras, kemungkinan besar mereka tetap jadi orang miskin. Begitu juga anak keturunan mereka nanti. Begitu seterusnya. Sedangkan kau, boleh tidak punya duit, tapi kau ada kesempatan untuk berhasil, bahkan membantu orang seperti mereka. Mereka tidak punya akses untuk pendidikan, kau punya. Jadi kenapa malas! Kau orang yang beruntung. Tidak pantas kau malas!”
[Berikut adalah kata-kata bang Togar dalam Novel “Ranah 3 Warna” halaman. 162]
Bang Togar adalah ‘guru’ menulis Alif, tokoh utama dalam novel tersebut. Dalam penggalan cerita disana adalah waktu dimana Alif tiba-tiba buntu, malas, tak ada ide sama sekali untuk menulis. Lalu masalahnya ini ia sampaikan pada bang Togar, yang juga seniornya di organisasi jurnalistik yang ia ikuti di kampusnya. Oleh bang Togar Alif lantas di ajak ke suatu tempat, sebuah tempat disudut kota Bandung, yakni tempat kumuh, sarangnya para pemulung, kotor, bau, dan masa depan suram kita lihat di tempat tersebut.
Alif kaget dibawa ke tempat tersebut. Kenapa kesini? Sebenarnya apa maunya bang Togar? Pertanyaan muncul dibenak Alif. Bang Togar hanya menyuruhnya diam dan Alif disuruh memperhatikan kehidupan di tempat kumuh tersebut.
Disana Alif menyaksikan lakon kemiskinan sedang dimainkan. Kehidupan yang riil, nyata, bukan panggung sandiwara. Semua yang menyedihkan ada disana. Kelaparan, orang cacat, anak-anak yang tidak berpendidikan yang bisanya mengais sampah saja, rumah reot, kumal, semuanya alif lihat dan rasakan. Alif menyadari bagaimana hidupnya juga orang tak berpunya. Namun semiskin-miskinya orang kampong, masih bisa hidup layak daripada kemiskinan yang melanda orang-orang dikota katanya.