NTB BANGKIT

Minggu, 12 Agustus 2012

"Saat Shah Rukh Khan Seharga 27.000"

Peristiwa ini sudah terjadi setaon yang lalu, kalo tidak salah nama toko buku di pinggir jalan Airlangga itu Mizan Corner. Penasaran juga dengan toko buku ini, soalnya pertama kali buka udah ada diskon besar-besaran (namanya juga promo). Apalagi ditambah nama “Mizan”, membuat saya berspekulasi ini toko pasti stoknya buku-buku bermutu. Siapa yang tidak kenal akan kebesaran nama penerbit Mizan. Penerbit buku-buku bermutu dan biasanya bestseller, yang juga membawahi beberapa anak perusahaan penerbitan lainnya. Namun begitulah walaupun sedang promo tetep aja saya males masuk soalnya kantong saya sama sekali ga’ punya diskon waktu itu, alias minim duit, pas-pasan untuk beli bensin. Tapi, saya sudah berjanji untuk harus dan harus masuk ke toko ini lain waktu dengan duit yang lumayan tebal (alay).

Oiya, tapi bukan tentang toko buku ini yang akan saya tuliskan, tetapi tentang buku yang saya beli akhirnya di toko ini. Yah, setelah beberapa hari akhirnya saya kembali ke toko buku tersebut tentunya dengan duit yang udah dipersiapkan biarpun masa aktiv diskon promonya udah abiz.

Waktu itu niat saya akan membeli buku novel saja, yang sangat saya cari adalah “Ranah 3 Warna”-nya bang Fuadi, karena seri pertamanya “Negeri 5 Menara” udah tersimpan, tersampul, dan ternikmati oleh saya, karena di toko buku2 yang ada di Mataram pun belom ada. Sayang, saat saya tanya pada mas-nya, novel tersebut belom datang juga. Akhirnya orientasi saya berpindah ke yang lain saja, liat-liat buku-buku aja dulu, sapa tahu ada yang sreg di hati n' pas buat saya.

The King Of Bollywood
Tak disangka, walau promo diskonnya udah berakhir, tapi menurut saya buku-bukunya bisa dikatakan murah lho. Misalnya saja buku yang ketebalannya 250-300an halaman harganya cuman 25.000an. Setelah beberapa waktu celingak-celinguk melihat-lihat buku, pandangan saya tertumbuk pada buku yang bersampul merah kombinasi hitam, sepertinya berkelas. Astaga itu ternyata buku bioghrapinya  Shah Rukh Khan. Judulnya “The King Of Bollywood” dengan sub judul “Kisah legendaris seorang bocah Muslim biasa yang menjadi dewa di jagat perfilman India”. Saya langsung melihat synopsis di belakang buku tersebut (tak  pelak membaca sinopis adalah strategi untuk menilai sebuauh buku), cukup mengesankan. Cover dan kertasnya pun bagi saya sangat bagus. Cover yang “mewah” dan kertas yang putih berat (ga’ tahu saya nama kertasnya). Lalu saya mengintip harganya, mantab abiiz harganya cuman 27.000an. Dari kesan yang berkesan lalu menjadi terkesan, akhirnya buku inilah tempat hati saya jatuh. Beli. Duit yang masih lumayan tak saya sia-siakan, beberapa buku akan saya beli juga. buku yang memang-memang akan bermanfaat bagi khazanah ilmu, wawasan dan sinkron dengan mimpi saya. Akhirnya saya mengambil satu buku lagi yang cukup tebal, kira-kira 400an halaman lebih tebal dari “The King of Bollywood”. Harganya beda lumayan jauh dengan buku pertama. Tapi judulnya saya rahasiakan, habisnya saya malu. Hehe. Alih-alih ingin membeli buku novel, eh malah yang dibeli buku non-fiksi aja.

Minggu, 05 Agustus 2012

Perpustakaan Dan Reality Show itu Bernama Warung Kopi



“Warung Kopi itu tidak sama dengan cafĂ© bahkan dengan kedai Starbucks (Warung Kopi versi Amerika) dari Amerika sana yang kental individualism-nya.”
Pertanyaan pertama: Kabar dan acara dari tempat mana yang paling mendekati acara talkshow seperti di televisi?
        Pertanyaan kedua: Perpustakaan mana yang paling up-to-date referensi dan yang paling merakyat sistemnya?
Jawaban untuk keduanya Bagi saya tidak ada yang lain lagi, selain di Warung Kopi.
Warung Kopi, Panggung Orang Melayu
Kalau Anda termasuk yang gemar numpang istirahat di sela-sela waktu Anda di Warung Kopi walaupun sebenarnya ga’ ngopi, tapi sekedar beli nasi bungkus saja atau sekedar merayu pedagangnya, Anda pasti sudah akrab dengan suasana khas di Warung Kopi. Ramai dengan obrolan lepas dan kental dengan suasana social masyarkatnya. Bertemu dengan orang dari pelbagai profesi, mulai dari pak tua pedagang ubi pejalan kaki, sampai pak pejabat pendidikan bermobil plat merah yang keciprat tahi. Sering juga kita bertemu preman namun humoris, dan para da’i yang apatis.
Karena pengunjungnya dari pelbagai profesi maka di Warung Kopi ini kita bisa menyaksikan, mendengar, bahkan termenung-menung kala semua lakon tokoh di tempat ini mulai eksyen. Si da’i berbicara agama dan akhirat, namun dia juga bisa menjadi seorang pengamat bisnis ketika datang si penjual HP. Si guru berbicara kurikulum dan sertifikasi guru, namun tiba-tiba menjelma menjadi anak muda ketika datang si satpam yang ngomongin Jupe. Dan lakon seperti ini sukar Anda temui di tempat keramaian lainnya sekalipun itu di Mall.

Jumat, 03 Agustus 2012

"Pencitraan Diri Lewat Facebook"


Teman lama saya, yang sering saya panggil Old Brade, yang menggadang-gadang dirinya sebagai ahli Psiko-Sosiolingustik dalam sebuah diskusi lepas menyimpulkan:
Dalam facebook ada beberapa kriteria pencitraan diri yang bisa kita amati, 4 diantaranya adalah:

Pertama, orang yang bercitra baik/soleh. Orang dengan citra seperti ini muncul dalam penilaian teman-teman facebook-nya biasanya yang selalu mem-posting hal-hal yang baik saja, dan jarang kita melihat mereka memposting hal-hal yang berkaitan dengan apa yang dia rasakan (mood-nya saat itu). Hal-hal baik yang sering mereka posting, misalnya, seperti hal-hal yang berkaitan dengan agama, kutipan-kutipan dari tokoh, photo-photo dengan simbol agama, dan semisalnya. Karenanya, kita tentu saja akan menilai mereka dengan orang-orang bercitrakan baik. Orang-orang yang seperti ini kemungkinan besar mereka di alam nyatanya memang orang bercitra baik. Biasanya, ini didasari rasa ingin berbagi hal-hal yang baik dengan ikhlas.

Kedua, orang yang sama citranya seperti orang pertama dari segi postingannya. Namun, mereka ini lebih cenderung hati-hati dan memikirkan dengan matang dalam memposting sesuatu atau men-like suatu fan-page atau semisalnya. Karena kalau tidak hati-hati, bisa-bisa pencitraan diri mereka meleleh bak lemak kena bara api. Misalnya, mereka pada saat itu dalam posisi yang sedang marah melihat sebuah status, namun untuk pencitraan, dia lebih baik berkomen dalam jalur yang nyaman dan aman saja. Pencitraan mereka makin bagus  juga ketika teman Facebook-nya melihat statusnya seperti:

“Alhamdulillah, adzan berkumandang, mari berbuka” (sedang berpuasa)

“Betapa nikmatnya bersujud pada-Mu di tengah malam seperti ini” (sedang Tahajud)