NTB BANGKIT

Jumat, 15 Maret 2013

Terjebak Dalam Persahabatan Semu



Sekitar tujuh ekor kelinci dari dulu bersahabat erat. Berganti tahun, ekor per-ekor meniti jalan karir sendiri. Ada yang menjadi kelinci Pengerat, ada yang menjadi kelinci Pelompat, yang lain menjadi kelinci Pengendus, dan ada jua yang menjadi kelinci Pendengar.
Tetapi sayang, di antara tujuh ekor kelinci itu, kalau tidak salah ada dua ekor kelinci yang tidak menjadi apa pun. Dua kelinci yang bernasib tidak sebagus teman-teman kelinci yang lain ini selalu mengeluh karena uang. Bagaimana mau menikmati uang, wong pekerjaan saja tidak ada. Padahal, dari dulu, dua kelinci ini dan teman-teman kelincinya yang lain terkenal akan kecerdasannya.
Dua kelinci ini juga bingung, kenapa nasib mereka tidak sebaik temannya yang lain? Bukankah mereka sama-sama cerdas?
Tetapi, walau pun begitu, mereka tetap bersahabat dan tetap menikmati hidup. Bagi dua kelinci yang pengangguran, kesepian itu terasa sekali saat teman-temannya yang lain sibuk dengan pekerjaannya. Saat-saat seperti inilah, di mana waktu dan keadaan terasa menyesakkan, galau, dan penuh cemas. Pikiran-pikiran tidak baik itu lalu memunculkan keluh-kesah, sumpah-serapah, persis bromocorah.
Sekali waktu dua kelinci itu merenung, kenapa teman-temannya yang sudah punya karir tidak membantu saja mereka supaya bisa menjadi kelinci Pengerat mungkin? Pengintai, bisa saja? Atau Pelompat? Atau memberitahu di mana bisa belajar untuk meniti karir. Sederhananya, bagaimana supaya tidak menjadi sampah! Padahal sewaktu berkumpul mereka kompak untuk melakukan suatu hal, apa saja. Namun sayang, kalau masalah masa depan, mereka sepertinya punya prinsip tersendiri: urus diri loe sendiri! Mau meminta secara langsung, dua kelinci itu masih punya harga diri. Tidak enak, itu bahasa sopannya orang timur. Ah, sebenarnya bukan menyangkut harga diri, mereka malas saja. Mereka tidak mau berkembang, itu intinya.
Waktu berganti waktu, dua kelinci ini makin sadar akan posisinya di antara teman-temannya yang lain (kelinci yang sudah berkarir). Mereka sadar akan kegoblokannya sendiri. Bagaimana tidak, saat acara nongkrong-nongkrong, teman kelinci yang sudah punya pekerjaan selalu berinisiatif pergi berlibur ke kebun milik Mr. Chris, seekor kelinci tua yang punya perusahaan taman kebun yang terkenal keindahannya. Kalau ingin masuk ke kebunnya harus merogoh kocek sedikitnya 60 dollar. Teman kelinci yang lain tentu saja mampu merogoh kocek sebanyak itu, lha dua kelinci itu? Kenapa teman-temannya yang lain tidak memikirkan posisi mereka?
Di lain waktu, saat nongkrong-nongkrong, teman-temannya yang sudah berkerja berinisiatif untuk membeli wortel yang terkenal enak dan manis di daerah perbatasan. Harganya, 1 wortel= 10 dollar. Gila! Di mana kelinci pengagguran itu akan mendapatkan uang sebanyak itu? Lagi-lagi, teman-temannya yang sudah punya pekerjaan tidak memikirkan posisi mereka?
Sahabat sih sahabat, tapi kalau begini terus, dua kelinci itu bisa mati kering-kerontang, karena mau tidak mau mereka harus ikut membayar harga sebuah kegengsian.
Maka, waktu itu pun terus berlalu, kedunguan mereka makin kentara oleh diri mereka sendiri. Kini, semakin bertambah umurnya mereka semua, mereka semakin sibuk dengan karir dan pekerjaannya, tentu saja pengecualian bagi dua kelinci pengangguran tersebut. Dua kelinci itu makin merasakan kesendirian dan menuju titik nadir.
Hatta, pada umur yang sudah tidak muda lagi, dua kelinci dungu hidup dalam keadaan yang menyedihkan. Terlunta, menghidupi diri ala kadarnya. Sedang teman-teman kelincinya yang lain, pada usia yang sedemikian sudah hidup dalam kehangatan keluarga kecil. Karir pun makin bagus. Tinggal menikmati masa-masa tua di atas kursi goyang.
Maka, dalam perenungannya yang matang, dua kelinci dungu itu mengambil sebuah kesimpulan bahwa: “Sahabat adalah mereka yang memotivasi kita dalam berkarya, bukan yang malah mencemooh. Sahabat adalah mereka yang memberi kita informasi di mana bisa berkarir, bukan yang malah membiarkan kita terus menjadi sampah dan fakir. Sahabat adalah mereka yang tahu posisi kita seperti apa, bukan malah saling olok-mengolok. Bersahabat bukan hanya sekedar menghabiskan waktu untuk nongkrong bersama, tapi bagaimana saling memberi masukan untuk menjadi lebih baik lagi. Ada satu ungakapan yang paling absurd dalam bersahabat, yakni susah-senang bersama, untuk jangka pendek ungkapan ini bisa diterima, tetapi kalau sudah untuk jangka panjang, kita semua sangsi, sebenarnya semuanya hipokrat. Hati-hati dalam bersahabat yang malah membiarkan temannya terus menjadi sampah tanpa adanya nasihat-menasihati.” Batin pada masing-masing dua kelinci dungu itu.
Namun, berita buruknya, meski sudah merenung bak para resi zaman prabu, pun begitu si dua kelinci sadar akan kedunguan dan paham arti seperti apa itu bersahabat, mereka tetap saja tidak mau belajar, meninggalkan zona persahabatan yang palsu, dan tetap saja mengeluh. Benar-benar dua kelinci yang dungu bukan . . .?