NTB BANGKIT

Kamis, 05 September 2013

Efek Domino Politik

Ini di Lombok khususnya, banyak kalangan tokoh agama terjun---kalau tidak mau dibilang berebut---lahan di dunia politik.

Padahal, siapa yang tak tahu kalau kalangan-kalangan ini sudah punya seabrek kesibukan mengurus ini-itu. Ceramah, pengajian, organisasi, pondok, sekolah, yayasan, dan umat. Tengok, sibuk sekali kan kalau dibayang-bayangkan?

Dengan seabrek jadwal yang tentu saja menguras tenaga dan pikiran, lagi-lagi tak habis pikir, kita bertanya-tanya, ga' capek tu?

Allahua'lam, yang jelas jawaban yang sering kita dapatkan dari kalangan-kalangan ini adalah mereka ingin mengabdi lebih luas lagi bagi masyarakat dan umat. klise!
Baguslah, sepertinya beliau-beliau ini (mungkin) berhasil di tempat pengabdiannya yang awal-awal, itu sebab, "tantangan" baru di depan sepertinya menarik nih?
Di sisi lain, bolehkah saya melihat fenomena macam ini sebagai sebuah efek dari coba-coba alias mengandalkan elektabilitas dari sebuah nama besar, ketokohan, dan pengaruh?

Dari yang awalnya mengandalkan elektabilitas brand-marketnya, kemudian berhasil---maksudnya lolos menjadi pejabat (eksekutif maupun legislatif)---hal ini lalu memunculkan lagi efek baru, yakni efek domino perpolitikan. Mereka yang kira-kira sama tingkat status sosialnya dengan yang sudah berhasil itu di masyarakat jadi berpikir-pikir: "Eh, masak iya saya gak bisa seperti saudara-saudara itu?".

Kemudian, ditambah lagi dengan cerdiknya para tim dari partai politik mencium adanya "alat" yang akan bisa dipakai. Lantas, terjadilah pertemuan, terjadilah MoU, dan terjadilah pesta demokrasi. Eh, ada yang tau ga', pesta demokrasi 2014 akan menghabiskan dana 17 triliun rupiah, mudahan saya tidak khilaf dengan angka ini, pembaca! (masyaallah, duit segitu kalo dibeliin kwaci gimana ya?)

Akhirnya, mereka yang awalnya tidak ada niat menjadi pejabat publik, lalu menjadi berniat, dari berniat kemudian menjadi coba-coba yang tentu saja dengan niat masing-masing, niat yang sering kita dengar bernada klise tadi. Ini saya melihatnya sebagai sebuah efek domino. Mulai dari satu tokoh agama, merembet ke tokoh agama lainnya. Akhirnya berbondong-bondonglah beliau-beliau ini nyalon.

Tidak bolehkah tokoh agama menjadi seorang pejabat publik? Boleh! Tapi, di sini saya tidak berbicara halal-haram, namun lebih ke fokus menyelesaikan yang satu-satu dulu.
Coba bayangkan, jika kebanyakan tokoh agama terjun ke politik, lebih-lebih menjadi pengurus sebuah parpol. Agak rumit untuk tidak "memanfaatkan" setiap momen sekecil apa pun untuk nyerempet ke kampanye terselubung.

Pada cerita lain, miris juga melihat seorang tokoh agama, macam Tuan Guru, Kyai, yang dicacimaki, dibeberkan aib-aibnya, ditelanjangi kehormatannya, oleh seorang atau sekelompok massa. (Ini marak terjadi menjelang pemilu). Ini fakta! Saya tidak mengada-ada.
***
Di sana, di sudut sebuah kota dan di pedalaman sebuah pedesaan, beberapa orang, pun seseorang, nyata kiprahnya dalam membangun masyarakat. Ada yang membangun sekolah gratis untuk anak-anak jalanan. Ada yang mengajar tanpa bayaran, sekali pun ia terbaring lemah di atas kasur. Ada yang membangun perpustakaan kecil-kecilan, dan sebagainya. Tetapi, tahukah kita, hasil dari sesuatu yang sederhana tadi mampu menghasilkan dampak yang cukup signifikan bahkan luar biasa. Anak jalanan yang miskin, gelandangan, bengal bisa menjadi terarah hidupnya, bahkan ada yang menjadi hafiz (penghapal Al-Qur'an). Orang-orang kampung yang tahunya disuguhi tontonan murahan televisi saja kemudian bertambah wawasannya dengan membaca buku. Hasilnya nyata, fokus pada yang satu-satu dulu, pada yang di sekitar dulu.

Berhasil menanam, merawat, menjaga, dan memetik hasil satu pohon jambu, bukankah itu lebih baik daripada menanam seribu pohon jambu, namun semuanya terbengkalai.

Menggarap 1 petak sawah dengan fokus dan sungguh-sungguh, bukankah itu lebih baik daripada punya 1000 petak sawah, namun terbengkalai semuanya karena diabaikan dan terlalu banyak ngurus ini-itu.
***
Daripada membuang-buang waktu, tenaga dan pikiran alangkah lebih indahnya kalau waktu yang terkuras menjadi seorang pejabat publik itu digunakan untuk membina dengan serius pondok, yayasan, dan umat. Saya yakin sangat, sekali pun tanpa menjadi seorang pejabat Anda bisa berkiprah untuk masyarakat. Nilai harga kehormatan Anda juga setara dengan seorang pejabat. Bahkan, seorang pejabat bisa membungkuk hormat di depan Anda! Serius!
***
Efek jatuh merembetnya barisan domino indah terlihat, tapi tetap saja namanya, jatuh.
Selamat melihat jalanan penuh dengan baliho-baliho, dan janji-janji lagi pembaca!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar