Sekitar
tujuh ekor kelinci dari dulu bersahabat erat. Berganti tahun, ekor per-ekor meniti
jalan karir sendiri. Ada yang menjadi kelinci Pengerat, ada yang menjadi
kelinci Pelompat, yang lain menjadi kelinci Pengendus, dan ada jua yang menjadi
kelinci Pendengar.
Tetapi
sayang, di antara tujuh ekor kelinci itu, kalau tidak salah ada dua ekor
kelinci yang tidak menjadi apa pun. Dua kelinci yang bernasib tidak sebagus
teman-teman kelinci yang lain ini selalu mengeluh karena uang. Bagaimana mau
menikmati uang, wong pekerjaan saja
tidak ada. Padahal, dari dulu, dua kelinci ini dan teman-teman kelincinya yang
lain terkenal akan kecerdasannya.
Dua
kelinci ini juga bingung, kenapa nasib mereka tidak sebaik temannya yang lain?
Bukankah mereka sama-sama cerdas?
Tetapi,
walau pun begitu, mereka tetap bersahabat dan tetap menikmati hidup. Bagi dua
kelinci yang pengangguran, kesepian itu terasa sekali saat teman-temannya yang
lain sibuk dengan pekerjaannya. Saat-saat seperti inilah, di mana waktu dan
keadaan terasa menyesakkan, galau, dan penuh cemas. Pikiran-pikiran tidak baik
itu lalu memunculkan keluh-kesah, sumpah-serapah, persis bromocorah.
Sekali
waktu dua kelinci itu merenung, kenapa teman-temannya yang sudah punya karir tidak
membantu saja mereka supaya bisa menjadi kelinci Pengerat mungkin? Pengintai,
bisa saja? Atau Pelompat? Atau memberitahu di mana bisa belajar untuk meniti
karir. Sederhananya, bagaimana supaya tidak menjadi sampah! Padahal sewaktu
berkumpul mereka kompak untuk melakukan suatu hal, apa saja. Namun sayang,
kalau masalah masa depan, mereka sepertinya punya prinsip tersendiri: urus diri loe sendiri! Mau meminta
secara langsung, dua kelinci itu masih punya harga diri. Tidak enak, itu bahasa
sopannya orang timur. Ah, sebenarnya bukan menyangkut harga diri, mereka malas
saja. Mereka tidak mau berkembang, itu intinya.
Waktu
berganti waktu, dua kelinci ini makin sadar akan posisinya di antara
teman-temannya yang lain (kelinci yang sudah berkarir). Mereka sadar akan
kegoblokannya sendiri. Bagaimana tidak, saat acara nongkrong-nongkrong, teman
kelinci yang sudah punya pekerjaan selalu berinisiatif pergi berlibur ke kebun milik
Mr. Chris, seekor kelinci tua yang punya perusahaan taman kebun yang terkenal
keindahannya. Kalau ingin masuk ke kebunnya harus merogoh kocek sedikitnya 60
dollar. Teman kelinci yang lain tentu saja mampu merogoh kocek sebanyak itu,
lha dua kelinci itu? Kenapa teman-temannya yang lain tidak memikirkan posisi
mereka?
Di
lain waktu, saat nongkrong-nongkrong, teman-temannya yang sudah berkerja
berinisiatif untuk membeli wortel yang terkenal enak dan manis di daerah
perbatasan. Harganya, 1 wortel= 10 dollar. Gila! Di mana kelinci pengagguran
itu akan mendapatkan uang sebanyak itu? Lagi-lagi, teman-temannya yang sudah
punya pekerjaan tidak memikirkan posisi mereka?
Sahabat
sih sahabat, tapi kalau begini terus, dua kelinci itu bisa mati
kering-kerontang, karena mau tidak mau mereka harus ikut membayar harga sebuah
kegengsian.
Maka,
waktu itu pun terus berlalu, kedunguan mereka makin kentara oleh diri mereka
sendiri. Kini, semakin bertambah umurnya mereka semua, mereka semakin sibuk
dengan karir dan pekerjaannya, tentu saja pengecualian bagi dua kelinci pengangguran
tersebut. Dua kelinci itu makin merasakan kesendirian dan menuju titik nadir.
Hatta,
pada umur yang sudah tidak muda lagi, dua kelinci dungu hidup dalam keadaan
yang menyedihkan. Terlunta, menghidupi diri ala kadarnya. Sedang teman-teman
kelincinya yang lain, pada usia yang sedemikian sudah hidup dalam kehangatan
keluarga kecil. Karir pun makin bagus. Tinggal menikmati masa-masa tua di atas
kursi goyang.
Maka,
dalam perenungannya yang matang, dua kelinci dungu itu mengambil sebuah
kesimpulan bahwa: “Sahabat adalah mereka yang memotivasi kita dalam berkarya,
bukan yang malah mencemooh. Sahabat adalah mereka yang memberi kita informasi
di mana bisa berkarir, bukan yang malah membiarkan kita terus menjadi sampah
dan fakir. Sahabat adalah mereka yang tahu posisi kita seperti apa, bukan malah
saling olok-mengolok. Bersahabat bukan hanya sekedar menghabiskan waktu untuk
nongkrong bersama, tapi bagaimana saling memberi masukan untuk menjadi lebih
baik lagi. Ada satu ungakapan yang paling absurd dalam bersahabat, yakni
susah-senang bersama, untuk jangka pendek ungkapan ini bisa diterima, tetapi
kalau sudah untuk jangka panjang, kita semua sangsi, sebenarnya semuanya
hipokrat. Hati-hati dalam bersahabat yang malah membiarkan temannya terus
menjadi sampah tanpa adanya nasihat-menasihati.” Batin pada masing-masing dua
kelinci dungu itu.
Namun,
berita buruknya, meski sudah merenung bak para resi zaman prabu, pun begitu si
dua kelinci sadar akan kedunguan dan paham arti seperti apa itu bersahabat,
mereka tetap saja tidak mau belajar, meninggalkan zona persahabatan yang palsu,
dan tetap saja mengeluh. Benar-benar dua kelinci yang dungu bukan . . .?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar