Gelap!
Tapi, demi Tuhan, aku sadar, aku tadi terhempas sangat kuat, berdebam-debam.
Sudilah kiranya untuk sejenak meraba-raba! Begini:
Sebenarnya
aku tak pernah segigitan kacang pun ingin meraba bintang. Ia terang, penyayang,
hei ia pun serupa raut wajah seorang suami perantau yang merindu pulang. Ah,
kau tahu itu!
Pagi
itu, tak ada asap, tak ada api, tiba-tiba seribuan burung Mob merubung diriku. Awalnya,
satu Mob mencabut bulu-bulunya lalu dipasang pada tubuhku sedemikian rupa. Dua,
tiga, empat, ratusan…ribuan lalu beramai-ramai burung Mob itu melakukan hal
yang sama seperti kawannya yang pertama, mencabuti bulunya sendiri lalu dipasang
pada tubuhku berupa-rupa.
Kalau
kau belum terlalu jelas, maka sini, mendekatlah, lebih dekat lagi, iya-iya, di
sana saja! Siapa tahu kau takut dengan rupaku sekarang. Aku manusia setengah
burung. Sayapku lebat benar-benar.
Aku
ingin terbang! Maka kukepakkan sayapku untuk yang pertama. Hihi, lucu, mirip,
mirip sekali dengan anak burung yang baru belajar terbang. Mengepak, sedikit
melompat, terangkat selengan tangan dengan bergetar-getar lalu jatuh. Berdiri
lagi, mengepakkan sayap lagi, melompat, terangkat, lalu...ajaib tubuhku
terangkat kini lebih dari selengan tangan, lebih, makin ke atas, dan makin
meninggi. Tubuhku terus terangkat ke atas lebih jauh. Aku terasa ringan. Aku
terbang dengan ratusan bulu-bulu dari burung Mob itu.
***
Aku
kini mengatasi gunung-gunung. Pada tempatku ini kulihat pemandangan alam yang
luar biasa! Bumi terlihat hijau. Tapi di belahan sana, bumi terlihat hitam.
Kukepakan
sayap lagi lebih keras dan kencang. Maka ia melesat, melesat makin jauh. Makin
jauh meninggi, bumi makin terlihat biru. Makin jauh ke atas, bumi terlihat
makin menakjubkan. Makin melesat . . .demi Tuhan aku makin takut tak kuat.
Tiba-tiba,
udara kurasa teramat dingin. Sepertinya bulu-bulu burung Mob tak mampu menahan
dinginnya udara ini. Tentu saja, mereka sendiri tak pernah sekali pun sampai
pada titik seperti ini. Dingin itu membuatku makin ketakutan. Dingin itu
membuat tubuhku sesak serasa ada tekanan, tak mampu ‘tuk bernapas dengan baik.
Dingin itu menjalar, mengalir, seperti akan menyerang setiap semburat
syaraf-syarafku. Namun, tubuhku tidak berhenti melesat terbang. Ia terus
terbang, dan sekelilingku serasa berada di dimensi lain. Inikah langit? Tapi
aku ingin ke bintang. Aku bisa melihat bintang lebih besar, bersinar, berkilau,
tajam, menakjubkan, dan maha banyak di sini. Apakah ini jumlah bintang yang
menurut para ilmuwan itu ada 200-500 milyar? Sedikit pun aku tidak tahu.
Tetapi, ia sungguh-sungguh masih sangat jauh! Tapi aku ingin ke bintang. Bagaimana?
Sesak,
tekanan, dingin dan ketakutan itu ‘tak kuingat, yang kuingat hanya ini dimensi
yang maha dahsyat. Dahsyat sekali! Lebih dahsyat dan indah daripada kau melihat
ribuan mutiara berkilau-kilau yang tiba-tiba muncrat melayang ke udara dari
dasar samudera pada pukul 5.50 menjelang sunset.
Saat
sayap ku kepakkan lagi pada sisa-sisa kekuatan demi menyentuh bintang …
tiba-tiba bulu-bulu itu kaku, tubuhku layu, syarafku mati membeku. Ku yakin itu
kepakkan sayapku yang terakhir. Aku tidak melesat ke atas lagi. Sedikit kusadari,
aku kini melesat terjun, jatuh ke bawah. Whuuuuuuus…whuuuuuuuus…!
***
“Bermimipilah yang tinggi, tinggi
menjulang sampai ke Langit, walaupun jatuh, setidaknya kita pernah jatuh dari
Langit”
Suka dengan quote nya:
BalasHapus“Bermimipilah yang tinggi, tinggi menjulang sampai ke Langit, walaupun jatuh, setidaknya kita pernah jatuh dari Langit”
Kita harus punya mimpi, karena dengan mimpi hidup kita akan lebih berarti bukan hanya sekedar menanti mati!
Dengan bermimpi atau bahasa orang-orang hebatnya 'punya visi', ini yang membedakan kita dengan hewan.
HapusThanks Ina sudah mampir! :)