NTB BANGKIT

Sabtu, 27 Agustus 2011

"Scene of Reminiscence"

 Mr. O’Neil beranjak dari tempat duduknya, terlihat ia berusaha menghapus air mata dari sudut-sudut wajah yang sudah tak muda lagi itu. Sebelum berbalik menuju kamarnya ia tersenyum kearahku, yang seakan mengatakan: aku masih kuat Hatta. Namun bagiku pandangan itu seolah-olah berucap: Hatta, sungguh aku benar-benar merindukan mendiang istriku, Liliana.
“Good night Hatta”
“Good night dad. Sleep well” balasku lembut.


Buku itu masih dalam peganganku. Buku ini adalah suara dan curhatan hati seorang pria 60an tahun yang merindu mendiang istrinya. Rindu akan sesosok istri yang selalu tersenyum padanya. Rindu akan dekapan cinta penuh kasih istrinya.



Kulihat lampu kamar Mr. O’Neil sudah dimatikan. Mungkin kini dalam pembaringannya, disana bayang-bayang sesosok istrinya membuat kerinduannya makin menjadi-jadi. Aku kasihan dengan pria 50an tahun itu. Pikirku seharusnya diusianya yang telah menjadi sosok kakek-kakek, seseorang harus mendampinginya untuk menghabiskan sisa-sisa perjalanan hidupnya di dunia ini. Kini kudapati pelajaran tentang cinta di dunia ini kawan bahwa: umur 50an tak mampu membendung kerinduan akan cinta sang kekasih.


Sebelum beranjak dari tempatku Reminiscence itu kubaca-baca lagi. Sekalian untuk mengenal bahasanya sastra inggris. Tiba-tiba sesuatu jatuh dari buku itu. Aku memungutnya. Adalah photo. Itu sebuah photo. Photo seorang wanita dengan seorang pria. Dan pria itu tak lain adalah Mr. O’Neil masih muda yang sedang di peluk seorang wanita. Kuperhatikan wanita yang ada di photo itu. Seorang wanita dengan rambut merah kecoklatan, memiliki bola mata yang biru nan bulu mata yang lentik. Tersenyum sungguh manis dalam balutan terusan berwarna putih keunguan. Benar-benar wanita yang anggun. Kubalik photo itu segera. Disana tertulis: Jean & Liliana 1969.




Reminiscence kutaruh di  meja santai Mr. O’Neil lalu beranjak kekamarku.
“Ah ntar dah masuk kamar, Cek-cek email dulu” gumanku tersenyum sendiri. Sudah 5 minggu ini aku belum sempat browsing internet. Sebelum masuk kamar kusempatkan sebentar untuk browsing internet di computer yang ada di ruang kerjanya Mr. O’Neil.
Hmmm. . . hanya banyak pemberitahuan dari akun facebook aja. Eits, sebentar, ada inbox dari Romisijambi.
Inbox: Kawanku, bagaimana dengan gula tradisionalmu itu, apa tidak mubazir kau taruh dirumah ayah homologue-mu itu. Saranku kau beri saja emakku nanti di Jambi! Ahahahaa piis.
Tertanda di inbox ia mengirim pesan tadi pukul 19.00.
Kubalas:
Replay: untuk emakmu, bagaimana kalau kubawakan saja penguin2 itu untuknya. :p
Komputerku shutdown.


Selesai menunaikan shalat ‘isya dalam kamar bergaya klasik itu kurenungi kejadian yang baru saja kusaksikan. Bagaimana kerinduan Mr. O’Neil akan mendiang istrinya. Seandainya saja aku betul-betul memahami kata-kata yang ada dalam reminiscence itu, mungkin saja air matakku pun akan berlinang.


Aku bergerak menyetel radio yang ada dalam kamar itu. Saluran FM yang terdengar sangat jernih. Suara pembawa acara juga terdengar jelas tapi aku tak paham. Bahasa inggrisnya orang New Zealand, aksennya sama dengan orang-orang Australia. Hanya ini kata-kata yang bisa kutangkap:
“Well listeners, this is song for you. Song by Bryan Adams I’ll always be right there. Enjoy it.”


Aku beranjak mendekati jendela kayu dari pohon pinus itu. Waktu menunjukan pukul 22.00 waktu Auckland, New Zealand. Kubuka jendela itu melihat ke sekeliling luar sana. Jauh disana masih nampak sisa-sisa butiran salju. Langit kota Auckland masih menyisakan redup-redup sinar bintang. Kenapa tiba-tiba aku teringat seseorang yang jauh disana. Ya teringat, tepatnya merindu.


Mr. O’Neil saja merindu orang yang telah mati, apalagi bagaimana dengan aku, merindu sesosok gadis yang jasadnya saja masih di bumi ini.


Teringat lagi potongan tulisan dari reminiscence itu:
“. . .namun kini aku baru tahu bahwa aku benar-benar jatuh cinta padamu . . .”
Sedang apa ya gadis itu sekarang. Ah kenapa tiba-tiba hati sangat merindunya. Pelajaran cinta lagi yang kudapati: dipisahkan samudera pasifik justru akan menambah rindu dan cinta akan seorang yang kita cintai.
Sayup-sayup terdengar alunan akustik I’ll always be right there-nya Bryan Adams.



I swear to you


I will always be there for you
There's nothing I wont do
I promise you
All my life I will live for you
We will make it through
Forever we will be
Together you and me
Oh when I hold you
Nothing can compare
Will all of my heart you know I will always be right there




I believe in us
Nothing else could ever mean so much
Your the one I trust
Our time has come
We're not two people now
we are one
second to none
Forever we will be together
A family
The more I get to know you
Nothing can compare
With all of my heart you know I will always be
right there


Forever we will be
Together just you and me
the more I get to know you
The more I really care
With all of my heart
I'll always be
And you know I really love you and nothing can compare
for all of my life you know ill always be
right there....
Nun disana, bintang-bintang itu masih setia tersenyum kelap-kelip. 
***
“Hatta” suara Mr. O’Neil memanggil dari balik pintu kamarku.
Yes, sorry?” responku. Gerangan apa neh, masih subuh begini Mr. O’Neil membangunkanku.
“Kita bersepeda Hatta. Come on!”
“Ouch, that’s good idea! Ok dad tunggu ya. Saya ganti sarung ini dulu” balasku cepat.


Kuambil sweater merahku dengan syal hijau pemberian Mr. O’Neil yang melindungiku nanti dari udara yang amat dingin diluar.


Kami bersepeda menuju Parnell Flowers Park , sebuah taman yang indah penuh aneka warna bunga, begitu yang kutahu.


Dalam perjalanan kulihat Mr. O’Neil terlihat riang sekali. Sesekali ia sedikit bersuit-suit merimakan sebuah nada lagu. Sedikit pun tak nampak guratan kesedihan yang ia alami semalam akan siksaan rindu. Kini kudapati pelajaran budaya hidup di dunia ini kawan bahwa: orang-orang di Negara maju itu hanya bersedih sebentar saja, setelah itu mereka kembali membuka semangat hidup baru.


(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar