NTB BANGKIT

Jumat, 02 Desember 2011

"Cinta is Nomaden"

image: google

Baru sepekan anak muda kelas dua High scool itu menempati sarang kost barunya berpindah dari sarang kostnya yang membosankan itu. Harapnya semoga kost kali ini menyenangkan dan bertemu dengan  pengalaman yang baik-baik. Seperti di lingkungan yang sudah-sudah, ia selalu cepat akrab dengan warga tempat barunya.
***
Malam itu adzan ‘isya belum berkumandang, bahkan papuq Ole, sang tetua pengayuh rakit itu pun belum habis dzikir ba’da maghribnya. Di lesehan wali kost dibawah pohon sawo yang penuh ayam beranak pinak itu Hatta ngobrol-ngobrol dengan sahabat barunya, Restu.

Entah pesona darimana dua gadis mendekati mereka secara tiba-tiba. Mereka sangat menawan, cantik khas gadis-gadis kota. Malam itu Hatta yang mengenakan sarung coklat ganepo-nya terpesona wajar, terutama pada gadis berambut sedikit bergelombang itu. Mungkin karena pandangannya tertumbuk lebih awal pada gadis itu. Ingin kenalan begitu katanya langsung.

“Okta” sapa gadis itu menjulurkan tangannya yang putih sembari senyumnya mengembang.

“Hatta” respon Hatta sedikit gugup tanpa senyum.

Melesat, ternyata bukan si gadis berambut sedikit bergelombang itu yang menghampirinya. Untuk Okta ini, sekilas cowok manapun pasti tak akan menolak gadis yang satu ini. Kata orang-orang kota, body seperti Okta ini yahuud, cantik parasnya, semampai, dan lentik bulu matanya. Iya si Okta ini. Tak berlebih, karena ia memang pernah mengikuti perhelatan model tingkat kota.


Namun seperti teori relativitasnya si bapak tua nan sinting itu, Albert Einstein. Kesimpulan akhir bisa berbeda jika ditilik dari sudut lain. Begitu pula yang terjadi pada Hatta, bagaimana pun pesona Okta, namun gadis yang berdiri di belakang Okta itu, gadis berambut sedikit bergelombang itulah pusara pesona. Ini mungkin yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama. Begitu bahayanya pandangan pada wanita ya?

Tak kalah sebenarnya dengan Okta. Gadis itu juga memesona, wajahnya lembut, parasnya sedikit bernuansa timur tengah, dia lebih anggun. Senyumnya itu, senyum yang mampu mengeringkan air sungai Gangga. Pandangannya,,,nah pandangannya itu, pandangan yang tenang dan teduh, setenang dan seteduh muara air Zam-zam yang turun dari lapis langit ketujuh. Benar-benar memesona gadis di belakang Okta itu bagi Hatta. Fisiknya memang sedang berkenalan dengan Okta, tapi hatinya berinai-rinai jatuh pada gadis dibelakang itu.

Baiq Nebula Seychan…adalah nama gadis itu. Nama yang indah, mahal, cantik tak terperi. Aduhai nama yang begitu pas denganmu. Gumam hati Hatta. Dikampungnya, gadis-gadis yang cantik dinamai standar saja oleh orang tuanya, misalnya: Nurhasannah, lalu Nunung. Lebih cantik sedikit maka dinamai Nurmi, makin cantik lagi, Neli. Neli? Aneh. Tapi Nebula Seychan, tak satupun orang tua yang menamakan anaknya dengan serupa itu. Wawasan orang tua mungkin berpengaruh dalam pemberian nama anak.

Belum selesai Hatta terpesona dengan Nebula itu, kabar kilat ia dengar bahwa Nebula Seychan tak lain dan tak bukan adalah kekasih orang yang sedang duduk disampingnya, sahabat barunya, Restu.
***
Misalnya dalam sinetron cinta itu selalu ada klimaks yang rada-rada konyol dan diakhiri dengan ending yang itu-itu saja, maka itulah letak nilai jualnya, tentu nilai jual yang dihargai oleh orang-orang awam yang sama sekali tidak mengerti arti dari kata “pesan moral” dalam seni. Begitulah orang awam selalu menyukai sesuatu yang itu-itu saja.

Kisah cinta dua muda-mudi itu pun berlanjut. Hatta dengan Okta, Restu dengan Nebula. Maka sering mereka bersama-sama melepas luapan cinta, membuncahnya rasa rindu, kuatnya rasa yang aneh, aneh maksudnya disini rasa yang nyaman berdekatan dengannya. Seumpama anak beruang putih, berdekatan dengan sang induk lebih ia sukai dari pada berburu salmon-salmon kecil, lalu melahapnya didekat perapian yang tersisa milik suku Eskimo dalam hamparan es minus 15 derajat celcius di ujung utara bumi. Hangat, damai, melayang-layang, dan aneh. Iya aneh lagi. Aneh tak bisa di artikan secara etimologis maupun substansial.

Namun bagi Hatta ini sesuatu yang ganjil, bagaimana anda bisa tahan melihat seorang yang anda cintai bermesraan dengan sahabat anda sendiri, live, langsung di depan anda? Ganjil, padahal pada saat yang bersamaan Hatta sendiri sedang bermesraan dengan Okta. Di lapangan kecil dekat rumah Okta yang nampak ditumbuhi rumput jarang-jarang, pula tumbuh berdesakan pada tiap sudutnya mimosa pudica, dari kerajaan Plantae yang sewaktu-waktu bisa menciut malu-malu.

“Besok maen bola lagi ga’?” Tanya Okta.

“Tergantung ada temen yang ngajak” jawab Hatta, kini ia tersenyum. Okta pun tersenyum jua. Ia pasti tak sabar lagi untuk bertemu Hatta di lapangan kecil dekat rumahnya itu.

“Hmmm” ringkih manja Okta sembari mencubit pipi sang arjuna di sampingnya itu.

Di sudut sana gadis itu tidak begitu bergairah alias sedikit agak canggung dengan cowok di depannya. Sejak bertemu kali pertama dengan teman baru kekasihnya itu, ada rasa yang aneh menjalari hatinya. Ia tahu diri, tapi bukankah lagi-lagi kata pak tua nan sinting itu “tidak semua  yang bisa hitung dapat di perhitungkan,” dan sebaliknya. Begitulah Nebula, ia merasakan sesuatu yang ia suka tapi aneh, sesuatu yang hangat tetapi aneh, sesuatu kekaguman tetapi aneh, yang ia rasa pada kali pertama pandangan mereka tertumbuk kilat saat dulu ia berdiri dibelakang Okta. Jangan-jangan aku jatuh cinta pada Hatta.

Maka bersama-sama melepas rindu pada dua pasangan itu adalah menyiksa bagi Nebula dan tentunya pula Hatta. Restu bingung atas perubahan pada gadis pujaan hatinya itu, Okta makin agresif dan manja memancing Hatta. Dan Nebula makin panas melihat Okta. Sesekali dalam situasi yang rumit itu mereka, Hatta dan Nebula saling mencuri pandang teramat hati-hati.

Sebenarnya kaulah yang aku cintai Nebula.

Setali tiga uang.

Aku pun begitu Hatta.

Dalam bahasa pandangan mereka meluapkan perasaan masing-masing. Hari itu pun hati Nebula berdetak-detak tak beraturan, namun menghasilkan irama yang melankolis. Lagi-lagi ini aneh. Nebula lalu serasa disentuh, ditiup, lalu perlahan menciut secara seismonasti, persis sifat mimosa pudica di dekatnya itu, tidak peduli dari mana datangnya sentuhan. Lalu menciut malu-malu. Aduhai.
***
“Anak-anak tidak tahu adat. Hanya segini kalian membayar keringat orang tua hah. Tambah lagi enam ratus! Syukur-syukur ada rakitku yang membawa kalian melewati sungai ini demi sekolah. Kalau lewat jembatan bisa dempor betis kalian jalan kaki muter-muter” papuq Ole tidak terima ongkos naik rakitnya itu mereka bayar hanya 500 perak. Anak-anak di tempatnya kost itu biasa melewati sungai dengan rakit untuk pergi sekolah, karena menghemat jalan.
 “Ga’ usah di dengerin ta, Ntar sebelum ujung rakit ini menyentuh ujung tepian itu, kita lompat!” Restu memberi ide gila.

“Tapi, tapi. . .kita bayar saja”

“Ah, gampang. Nah siap-siap kita udah mo nyampe’!”

Hatta bimbang, ia memegang tasnya erat, pasang kuda-kuda. Belum selesai ia menyisingkan celananya si Restu sudah melompat, sukses berdiri di tepian. Papuq Ole beringas terngiang-ngiang entah sumpah-serapah apa saja yang keluar dari mulutnya.

“CEPAT!” teriak Restu.

Hatta bersiap-siap,,, ia lalu melompat dan… “BYUUUUUUR….”

Restu tertawa terpingkal-pingkal, namun segera meraih tangan Hatta yang basah kuyup. Hatta gagal melompat ke tepian. Sebelumnya, saat ia bersiap untuk melompat, papuq Ole mengguncang-guncang rakitnya seperti Gopes mengamuk ingin menjatuhkan Sinbad. Hingga membuat keseimbangan Hatta kacau. Hatta jengkel dan malu tak tertangguhkan. Lalu cepat-cepat mereka lari terbirit-birit. Beruntung seragam olahraga itu menjadi pengganti seragam yang sudah basah, berlumpur, dan berbau kencing kuda itu.

Hatta tidak jadi masuk sekolah, ia diam di kost seorang teman yang tidak jauh dari sekolahnya. Ia menyesal melawan orang tua itu. Ia berjanji tidak akan mengulanginya, bahkan kalau papuq Ole meminta tambahan 500 perak, akan ditambahnya menjadi 800 perak. Semoga dengan ini dosanya terhadap orang tua itu di hapus oleh Allah yang maha penyayang. Kesimpulan Hatta: gara-gara dosa 600 perak, ganjarannya saja begini. Lha, bagaimana dengan para koruptor yang nilep berjuta-juta dan bermilyar-milyar itu? Mengerikan.

Beruntung isi tas Hatta tidak basah, ia raih ponsel Nokia tipe 1100 dalam tas situ. Ada tiga pesan yang tertera pada layarnya. Hatta lalu membuka. Pertama dari curt. Service XL, lalu kedua dari Ike’,  sahabatnya Okta dan Nebula, dan ketiga dari Ike’ jua.

Dari XL: pulsa anda sudah terisi pulsa 10.000.

Hatta senang dan bingung. Siapa gerangan yang mengisikannya pulsa.

Lalu dari Ike’: sudah masuk pulsanya ta? Nebula yang ngisi’in kamu.

Haaaah? Hatta gemetar.

Terakhir: . . . . . . . . . . . . . .temui dia di taman nanti sore ini. Sendiri!
***
3 tahun kemudian,

Gadis berambut sedikit berombak itu sudah berubah. Kini tak seindah sebenarnya Nebula di langit sana. Hari ini ia berpesta, memeriahkan hari pernikahannya dengan seorang pemuda juragan emas. Entah apa saja yang terjadi selama 3 tahun itu.
***
Dilapangan kecil dulu  itu, mimosa pudica kini berganti dengan euphorbia hirta lengkap dengan rumah berdesak-desak. Sama, persis, mirip dan liar. Tak lagi ada malu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar