::: Suatu
hari dua orang pemuda, Andi dan Bojes megunjungi rumah seorang pejabat teras
kabupaten di sekitar kecamatannya. Bojes, menemani Andi yang ternyata akan
melamar anak si bapak tersebut, sebutlah namanya Afika Alafsana. Sesampai di
rumah bapak pejabat teras yang juga tokoh agama di komplek rumahnya, Bojes
sebagai perantara pertemuan memulai pembicaraan.
Bojes: “Saya
Bojes pak. Dan ini teman saya Andi”
Si Bapak: “Iya,
ada yang bisa saya bantu?”
Bojes:
“Begini pak, langsung saja. Maksud kedatangan kami berdua kemari adalah untuk
melamar anak bapak yang bernama Afika Alafsana. Eh maaf, bukan kami berdua yang
akan melamarnya, tapi teman saya ini, Andi”
Si Bapak:
(melirik Andi sejenak)
Si Bapak:
“Kalian kenal dengan Afika dimana?”
Bojes:
“Sebenarnya Andi sama sekali tidak kenal Afika pak, saya yang kenal Afika, itu
pun hanya pertemanan lewat Twistor.”
Si Bapak:
“Terus kenapa tidak ada ini, tidak ada itu, tiba-tiba mo langsung ngelamar?
Kalian saja kami tidak kenal!” (bapak itu mulai agak heran)
Bojes: “Begini
pak! Sebelumnya saya mau kasi tahu dulu, di status Twistor yang sering di update Afika, isinya sering yang
berkaitan dengan jodoh dan calon suami. Calon suami yang ia idamkan ga’
neko-neko, asal soleh dan rajin beribadah, itu saja. Karena dia katanya melihat
dari agamanya. Itu kata Afika di statusnya pak!”
![]() |
Idealismemu Rapuh |
“Nah
kebetulan sekali, teman saya ini mau nikah, dan saya anggap dia yang tepat
sesuai dengan kriteria anak bapak. Dia orangnya rajin ke masjid solat
berjama’ah pak. Makanya kami langsung mencari alamatnya dia. Pengetahuan agama
Andi pun lumayan pak. (si Bapak melirik Andi lagi. Andi tetap gugup dan malu) Tapi, sebelumnya
saya mau beritahu bahwa Andi ini bukanlah orang kaya pak, dia hanya tamatan
SMP, biarpun begitu ia sudah memiliki pekerjaan tetap…” (tambah Bojes)
Si Bapak:
“Jadi apa, dimana?” (memotong)
Bojes melanjutkan:
“Jadi tukang cuci mobil-motor pak!”
Si Bapak:
(keliatan shock)
Tiba-tiba
muncul Afika yang baru pulang dari kuliahnya, dia mahasiswa psikologi. Gadis
itu sungguh manis dan cantik. Dalam balutan jilbab yang menutup tubuhnya ia
Nampak sangat anggun. Sungguh voting semua orang pasti tidak akan menyetujui
jika ia bersanding dengan Andi. Sangat kontras.
Mereka semua
saling tatap. Si Bapak langsung ke belakang dan menyuruh Afika mengikutinya.
Terdengar ada sedikit perbincangan di dalam sana. Andi tetap gugup, karena ide
ini paling tidak masuk akal yang pernah ia alami. Ini semua ide gila si Bojes.
Si Bapak
keluar dari ruang dalam.
Si Bapak:
(kelihatan riang) Hmmmm, begini nak Bojes dan khususnya buat nak Andi. Setelah
saya bicarakan denga Afika tadi. Dia pun terkejut dengan lamaran ini. Dan tanpa
mengurangi rasa hormat Afika dan saya juga, Afika tidak bisa menerima lamaran
ini. Afika ingin yang menjadi imamnya orang yang jelas Bebet, Bobot, Bibitnya.
Kalian pasti ngerti kan maksudnya. Ini kata Afika sendiri.”
Andi makin
menunduk, ia lesu. Namun Bojes kelihatan dongkol.
Bojes: ”Lho
pak! Ko’ malah ada bebet, bobot, bibit, betet segala. Bukannya Afika sendiri
yang bilang Ia memilih agama, bukan melihat dari keturunan, harta dan fisik
semata!. Agama teman saya ini baik pak, akhlaknya juga baik. Saya yang menjadi
jaminannya!” (agak kesal)
Si bapak:
“Tapi kau lihat juga dirinya, apa pantas Afika nanti dengan seorang tukang cuci
motor? Kalian juga bercermin, Afika itu seorang Mahasiswi, bukan gadis tamatan
SD!”
Tiba-tiba
Andi yang dari tadi diam menyahut: “Saya akan bekerja keras pak. Saya orangnya
pekerja keras. Saya akan bekerja keras!” (kata-katanya gugup)
Bojes terharu
melihat Andi.
Si Bapak:
“Kalau kalian tidak percaya, bicara saja sendiri sama anak saya!...”
Bojes
langsung berdiri dan memanggil Afika: “Afika, Afika,!” (memendam kekesalan)
Afika datang,
yang sebenarnya dari tadi nguping.
Bojes: “Benar
kata-kata bapakmu tadi tu Afika?”
Afika pun
menjawab dengan tanpa gugup, dan dalam berkat-kata terselip juga hadits dan
beberapa pandangan yang benar-benar masuk akal. Bojes tidak mau kalah, walau
tak punya pengetahuan yang cukup tentang agama ia mencoba berbicara. Tetapi
lagi-lagi Afika menjawabnya dengan kapasitas makin intelektual.
Bojes:”Berarti
kau munafik Afika!”
Afika: :”Astagfirullah. Jaga kata-katamu.Terserah! Kalian yang
tidak tidak tahu diri. Main lamar aja. Pantaskan diri dulu sana!”
Tiba-tiba
Andi menarik Bojes dan mengajaknya pulang. Setelah minta maaf dan pamit, mereka
hilang.
***
(Dalam
perjalanan pulang)
Bojes:
“Santai hep, masih banyak wanita!”
Andi:
“Mendapatkan yang seperti Afika itu adakah?, yang konon melihat dari agama dan
akhlaknya saja.
(Bojes
terdiam sejenak. Menarik napas)
Bojes: “Hmmm,
pasti ada saja ndi”
Andi:” Jes,
kenapa kau mo membantu ane seperti ini?”
Bojes:”Ane
kepingin buktiin omongannya dia tu ndi!, buktinya...?”
Andi:
(menghela napas panjang) “Jes, sebenarnya Afika tu cocok sekali sama ente,
ideal. kenapa tidak ente aja yang lamar. Mungkin kalau dia tahu siapa ente yang
sebenarnya bapak sama anak tu kecantol!”
Bojes:
“Tahulah ente, agama ane kan ga’ kaya’ ente”
Andi:”Bullshit itu!”
...?????????????????????????????????
#Bagaimanakah
kelanjutan kisahnya? Nantikan di layar FTV SCTB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar