“Warung Kopi itu tidak sama dengan café
bahkan dengan kedai Starbucks (Warung Kopi versi Amerika) dari Amerika sana
yang kental individualism-nya.”
Pertanyaan pertama: Kabar dan acara dari
tempat mana yang paling mendekati acara talkshow seperti di televisi?
Pertanyaan kedua: Perpustakaan mana yang paling
up-to-date referensi dan yang paling merakyat sistemnya?
Jawaban untuk keduanya Bagi saya tidak ada
yang lain lagi, selain di Warung Kopi.
Warung Kopi, Panggung Orang Melayu |
Karena pengunjungnya dari pelbagai profesi
maka di Warung Kopi ini kita bisa menyaksikan, mendengar, bahkan termenung-menung
kala semua lakon tokoh di tempat ini mulai eksyen. Si da’i berbicara agama dan
akhirat, namun dia juga bisa menjadi seorang pengamat bisnis ketika datang si
penjual HP. Si guru berbicara kurikulum dan sertifikasi guru, namun tiba-tiba
menjelma menjadi anak muda ketika datang si satpam yang ngomongin Jupe. Dan
lakon seperti ini sukar Anda temui di tempat keramaian lainnya sekalipun itu di
Mall.
Di Warung Kopi, hal-hal tabu bisa Anda
ketahui, mulai dari berapa istri simpanan orang ini-orang itu sampai berapa
tarif booking wanita di dareah ini-itu. Semuanya terbuka, padahal tanpa
ditanya. Beda dengan di Talkshow, ditanya dulu baru dibuka. Namun, semuanya
selalu berakhir dengan sama-sama tertawa.
Bagi saya Warung Kopi juga adalah sebuah
panggung hiburan, karena walau pun ceritanya melarat minta ampun, namun tetap
akhirnya akan tertawa bersama.
Ikut menjadi lakon dalam ragam karakter
manusia ini merupakan sesuatu yang mengasah kepekaan social kita terhadap orang
lain. Mendengar gaji mereka yang sedikit, utang di bibi sudah menumpuk, biaya
pendidikan anak mereka tak terbendung, kerja sampingan, rencana mancing kemana,
bukankah ini reality show?
Bagi Anda yang kurang mendapat informasi
tentang berita yang menjadi headline di televisi, cobalah datang ke Warung Kopi
maka disana Anda akan mendapati beritanya. Plus gratis langsung dibedah!
Korupsi, aliran sesat, kepercayaan, pokoknya ada saja.
Terkadang enak juga ikut-ikutan jahil sama
bapak-bapak itu dan agak sedikit membuat kontroversi.
Suatu ketika gerombolan dari beberapa
elemen mahasiswa di Mataram melakukan aksi menolak BBM dinaikan, lewat di
Warung Kopi kami. Tentu saja ini topik yang hangat untuk dibicarakan
bapak-bapak itu. Rata-rata pengunjung Warkop menolak juga. Tiba-tiba paha saya
di tepuk dan ditanya pendapat saya bagaimana. Saya malah bilang mendukung
pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Karuan saja, dari sanalah lalu muncul diskusi
ringan. Memperkuat pendapat saya, tentu saja saya memberikan mereka data-data
dan bukti dari yang paling dekat dengan mereka, dan mereka akhrinya
mengangguk-ngagguk. Seperti yang sudah saya katakan tadi, ending-nya, selalu
berakhir dengan tawa. Tertawa dengan orang–orang dari lapisan profesi dan ekonomi.
Inilah kenapa saya katakan Warkop itu bak perpustakaan hidup. Bukankah hal
seperti ini merupakan perpustakaan yang paling up-to-date? Sungguh Anda di
Warkop mendapat banyak sekali “sesuatu.”
***
Beberapa kali bertemu di Warkop yang sama,
suatu ketika tukang Pos sharing pengalaman hidupnya dengan saya. Beliau asli
Surabaya (kalau tidak salah), bapak itu menceritakan bagaimana ia meranatau
dari kampungnya. Merantau ke Jakarta-Bali lalu Lombok. Menceritakan bagaimana
hingga ia bisa menjadi tukang pos seperti sekarang, yang awalnya sebagai buruh
bangunan dan hampir menjadi pegawai PLN.
Yang paling berkesan adalah kisah sewaktu
awal-awal dia menikah, beliau tidak punya apa-apa sama sekali. Namun saban
waktu dia tiba-tiba teringat uang-uang receh yang dia sering simpan dulu waktu
di kos bersama temannya. Uang receh itu ternyata masih ada dan luar biasa,
jumlah uang yang lumayan banyak itu lah yang dia gunakan untuk membeli kompor,
beras, minyak dan keperluan lainnya. Anak bapak itu sekarang ada tiga. Yang paling
besar, sekarang ingin masuk SMK 3 Mataram dan sudah mendaptar. Kebetulan
sekolah tersebut adalah almameter saya, saya juga tak ketinggalan memberi tahu
si bapak info-info tentang sekolah itu.
Yang begini inilah yang saya sebut dengan
“sesuatu.” Ada kepekaan-kepekaan sosial yang bisa kita lihat dan rasa dari
Warung Kopi ini.
Disini juga kita bisa belajar betapa
susahnya menilai seseorang. Di luar kelihatan anaknya awut-awutan, tapi baiknya
tidak hentinya kita puji. Di luar dan umumnya Nampak aktivis dan agamis, namun
ulah tangan dan kakinya seringkali membuat miris, pada waktunya akan ketahuan
jua. Di luar Nampak kumuh, tapi dia sebenarnya anak kaya. Waah, pokoknya
menilai itu tak gampang.
Saya jadi teringat cara mengajarnya Prof.
Rhenald Kasali, dimana mahasiswa S2-nya yang kaya disuruh untuk berkunjung ke
panti asuhan, ke Ponpes khusus, dan sebagainya. Ini diniatkan supaya mereka
peka. Peka apa? Peka sense of human being-nya. Dan untuk mahasiswa S1 yang
kurang mampu disuruh untuk bepergian ke luar negeri, bagaimana pun caranya. Ini
diniatkan supaya mereka peka juga. peka apa? Peka untuk berpikir dan bertindak
how to.
Relasi antara metode mengajar pak Kasali
dengan apa yang saya ceritakan ini adalah ketika pergaulan Anda makin luas
dengan pelbagai karakter, pelbagai profesi, dan kondisi orang, itu membuat kita
peka dan membuka mata kita betapa hidup ini kaya sekaligus kompleks. Bukan
hanya bergaul yang soleh dengan yang soleeeeeeeeh saja, aktivis dengan
aktiviiiiis saja, ibu PKK dengan pegiat PKK saja, da’i dengan da’iiiiiii saja.
Tapi bukankah kita disuruh berteman dengan orang-orang yang baik saja? Memang, tapi
bukankah bergaul dengan menjadikan teman itu beda?. Adalah sebentuk pelajaran
yang berharga, yang tidak bisa Anda dapatkan di organisasi yang Anda banggakan
bahkan di perpustakaan Nasional pimpinan ibu … itu.
Ini mungkin saran saya bagi mereka yang
hanya bergaung di kelompok-kelompoknya saja, diskusi di lingkup organisasinya
saja, bereluk-eluk dengan sesama ideologinya saja, beraman ria di sesama
forumnya saja, cobalah Anda sekali waktu ikut nimbrung di Warung Kopi. Di
Warung Kopi lakon-lakon orang Melayu
bisa Anda jumpai.
SELAMAT MENIKMATI SECANGKIR KOPI!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar