NTB BANGKIT

Minggu, 05 Agustus 2012

Perpustakaan Dan Reality Show itu Bernama Warung Kopi



“Warung Kopi itu tidak sama dengan café bahkan dengan kedai Starbucks (Warung Kopi versi Amerika) dari Amerika sana yang kental individualism-nya.”
Pertanyaan pertama: Kabar dan acara dari tempat mana yang paling mendekati acara talkshow seperti di televisi?
        Pertanyaan kedua: Perpustakaan mana yang paling up-to-date referensi dan yang paling merakyat sistemnya?
Jawaban untuk keduanya Bagi saya tidak ada yang lain lagi, selain di Warung Kopi.
Warung Kopi, Panggung Orang Melayu
Kalau Anda termasuk yang gemar numpang istirahat di sela-sela waktu Anda di Warung Kopi walaupun sebenarnya ga’ ngopi, tapi sekedar beli nasi bungkus saja atau sekedar merayu pedagangnya, Anda pasti sudah akrab dengan suasana khas di Warung Kopi. Ramai dengan obrolan lepas dan kental dengan suasana social masyarkatnya. Bertemu dengan orang dari pelbagai profesi, mulai dari pak tua pedagang ubi pejalan kaki, sampai pak pejabat pendidikan bermobil plat merah yang keciprat tahi. Sering juga kita bertemu preman namun humoris, dan para da’i yang apatis.
Karena pengunjungnya dari pelbagai profesi maka di Warung Kopi ini kita bisa menyaksikan, mendengar, bahkan termenung-menung kala semua lakon tokoh di tempat ini mulai eksyen. Si da’i berbicara agama dan akhirat, namun dia juga bisa menjadi seorang pengamat bisnis ketika datang si penjual HP. Si guru berbicara kurikulum dan sertifikasi guru, namun tiba-tiba menjelma menjadi anak muda ketika datang si satpam yang ngomongin Jupe. Dan lakon seperti ini sukar Anda temui di tempat keramaian lainnya sekalipun itu di Mall.

Di Warung Kopi, hal-hal tabu bisa Anda ketahui, mulai dari berapa istri simpanan orang ini-orang itu sampai berapa tarif booking wanita di dareah ini-itu. Semuanya terbuka, padahal tanpa ditanya. Beda dengan di Talkshow, ditanya dulu baru dibuka. Namun, semuanya selalu berakhir dengan sama-sama tertawa.
Bagi saya Warung Kopi juga adalah sebuah panggung hiburan, karena walau pun ceritanya melarat minta ampun, namun tetap akhirnya akan tertawa bersama.
Ikut menjadi lakon dalam ragam karakter manusia ini merupakan sesuatu yang mengasah kepekaan social kita terhadap orang lain. Mendengar gaji mereka yang sedikit, utang di bibi sudah menumpuk, biaya pendidikan anak mereka tak terbendung, kerja sampingan, rencana mancing kemana, bukankah ini reality show?
Bagi Anda yang kurang mendapat informasi tentang berita yang menjadi headline di televisi, cobalah datang ke Warung Kopi maka disana Anda akan mendapati beritanya. Plus gratis langsung dibedah! Korupsi, aliran sesat, kepercayaan, pokoknya ada saja.
Terkadang enak juga ikut-ikutan jahil sama bapak-bapak itu dan agak sedikit membuat kontroversi.
Suatu ketika gerombolan dari beberapa elemen mahasiswa di Mataram melakukan aksi menolak BBM dinaikan, lewat di Warung Kopi kami. Tentu saja ini topik yang hangat untuk dibicarakan bapak-bapak itu. Rata-rata pengunjung Warkop menolak juga. Tiba-tiba paha saya di tepuk dan ditanya pendapat saya bagaimana. Saya malah bilang mendukung pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Karuan saja, dari sanalah lalu muncul diskusi ringan. Memperkuat pendapat saya, tentu saja saya memberikan mereka data-data dan bukti dari yang paling dekat dengan mereka, dan mereka akhrinya mengangguk-ngagguk. Seperti yang sudah saya katakan tadi, ending-nya, selalu berakhir dengan tawa. Tertawa dengan orang–orang dari lapisan profesi dan ekonomi. Inilah kenapa saya katakan Warkop itu bak perpustakaan hidup. Bukankah hal seperti ini merupakan perpustakaan yang paling up-to-date? Sungguh Anda di Warkop mendapat banyak sekali “sesuatu.”
                                                                              ***
Beberapa kali bertemu di Warkop yang sama, suatu ketika tukang Pos sharing pengalaman hidupnya dengan saya. Beliau asli Surabaya (kalau tidak salah), bapak itu menceritakan bagaimana ia meranatau dari kampungnya. Merantau ke Jakarta-Bali lalu Lombok. Menceritakan bagaimana hingga ia bisa menjadi tukang pos seperti sekarang, yang awalnya sebagai buruh bangunan dan hampir menjadi pegawai PLN.
Yang paling berkesan adalah kisah sewaktu awal-awal dia menikah, beliau tidak punya apa-apa sama sekali. Namun saban waktu dia tiba-tiba teringat uang-uang receh yang dia sering simpan dulu waktu di kos bersama temannya. Uang receh itu ternyata masih ada dan luar biasa, jumlah uang yang lumayan banyak itu lah yang dia gunakan untuk membeli kompor, beras, minyak dan keperluan lainnya. Anak bapak itu sekarang ada tiga. Yang paling besar, sekarang ingin masuk SMK 3 Mataram dan sudah mendaptar. Kebetulan sekolah tersebut adalah almameter saya, saya juga tak ketinggalan memberi tahu si bapak info-info tentang sekolah itu.
Yang begini inilah yang saya sebut dengan “sesuatu.” Ada kepekaan-kepekaan sosial yang bisa kita lihat dan rasa dari Warung Kopi ini.
Disini juga kita bisa belajar betapa susahnya menilai seseorang. Di luar kelihatan anaknya awut-awutan, tapi baiknya tidak hentinya kita puji. Di luar dan umumnya Nampak aktivis dan agamis, namun ulah tangan dan kakinya seringkali membuat miris, pada waktunya akan ketahuan jua. Di luar Nampak kumuh, tapi dia sebenarnya anak kaya. Waah, pokoknya menilai itu tak gampang.
Saya jadi teringat cara mengajarnya Prof. Rhenald Kasali, dimana mahasiswa S2-nya yang kaya disuruh untuk berkunjung ke panti asuhan, ke Ponpes khusus, dan sebagainya. Ini diniatkan supaya mereka peka. Peka apa? Peka sense of human being-nya. Dan untuk mahasiswa S1 yang kurang mampu disuruh untuk bepergian ke luar negeri, bagaimana pun caranya. Ini diniatkan supaya mereka peka juga. peka apa? Peka untuk berpikir dan bertindak how to.
Relasi antara metode mengajar pak Kasali dengan apa yang saya ceritakan ini adalah ketika pergaulan Anda makin luas dengan pelbagai karakter, pelbagai profesi, dan kondisi orang, itu membuat kita peka dan membuka mata kita betapa hidup ini kaya sekaligus kompleks. Bukan hanya bergaul yang soleh dengan yang soleeeeeeeeh saja, aktivis dengan aktiviiiiis saja, ibu PKK dengan pegiat PKK saja, da’i dengan da’iiiiiii saja. Tapi bukankah kita disuruh berteman dengan orang-orang yang baik saja? Memang, tapi bukankah bergaul dengan menjadikan teman itu beda?. Adalah sebentuk pelajaran yang berharga, yang tidak bisa Anda dapatkan di organisasi yang Anda banggakan bahkan di perpustakaan Nasional pimpinan ibu … itu.
Ini mungkin saran saya bagi mereka yang hanya bergaung di kelompok-kelompoknya saja, diskusi di lingkup organisasinya saja, bereluk-eluk dengan sesama ideologinya saja, beraman ria di sesama forumnya saja, cobalah Anda sekali waktu ikut nimbrung di Warung Kopi. Di Warung Kopi  lakon-lakon orang Melayu bisa Anda jumpai.

SELAMAT MENIKMATI SECANGKIR KOPI!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar