NTB BANGKIT
Tampilkan postingan dengan label Resensi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Resensi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 02 September 2012

Natasha. Sebuah Bisnis Paling Kejam dan Paling Menguntungkan


Senyumnya penuh menggoda, lirikkan matanya penuh intrik gairah, tubuhnya memancing godaan syahwat. Dia dijuluki banyak sebutan, dari yang indah bermetafor sampai ke kata-kata yang kotor. “Kupu-kupu malam,” “wanita pengibur,” "Wanita panggilan," “Pekerja Seks Komersial,“ “pelacur,” “lonte,” “wanita jalang” dan lainnya adalah sebutan untuknya.

Sebelumnya, apa yang ada dalam pikiran Anda tentang seorang pelacur? Kebanyakan kita pasti berpikiran yang amat menjijikan akan mereka. Mereka adalah wanita paling kotor di dunia ini. Tetapi, pernahkah kita melihat lebih dalam dan jauh lagi dan bertanya, apa yang membuat mereka jatuh ke kubangan pekerjaan kelam tersebut?

Saya sendiri secara langsung belum pernah bertemu dengan para wanita seperti ini. Tapi, pengalaman wanita yang mau “melacurkan” dirinya secara gratis mah pernah juga. Sebagian besar dari kita pasti menyerap informasi tentang para kupu-kupu malam ini sangatlah berbau-bau tabu, erotis, dan seks semata. Berita dari mulut ke mulut yang hanya tahunya dari luarnya saja, keterbatasan literatur, tanpa studi kritis, dan tanpa hirau apa yang menyebabkan mereka terjerumus ke lembah nista tersebut, inilah yang menyebabkan pikiran kita terus terkungkung.

Karena penasaran dan tergerak untuk mengungkap praktek trafiking paling kejam inilah yang membuat seorang jurnalis dan penulis, Victor Malarek terjun langsung ke lapangan. Ia mengunjungi negeri-negeri dimana isu trafiking (perdagangan manusia) paling kesohor. Kebanyakan negara yang dilaluinya adalah negara bekas Uni Soviet. Ia menyamar sebagai seorang “pelanggan,” sampai melewati marabahaya dari ancaman para mafia. Hasil pengamatan dan perjalanannya inilah yang kemudian dia tulis dalam sebuah buku dan diberi judul Natasha. Natasha sendiri adalah panggilan para lelaki hidung belang kepada wanita-wanita penghibur cantik itu.

Minggu, 12 Agustus 2012

"Saat Shah Rukh Khan Seharga 27.000"

Peristiwa ini sudah terjadi setaon yang lalu, kalo tidak salah nama toko buku di pinggir jalan Airlangga itu Mizan Corner. Penasaran juga dengan toko buku ini, soalnya pertama kali buka udah ada diskon besar-besaran (namanya juga promo). Apalagi ditambah nama “Mizan”, membuat saya berspekulasi ini toko pasti stoknya buku-buku bermutu. Siapa yang tidak kenal akan kebesaran nama penerbit Mizan. Penerbit buku-buku bermutu dan biasanya bestseller, yang juga membawahi beberapa anak perusahaan penerbitan lainnya. Namun begitulah walaupun sedang promo tetep aja saya males masuk soalnya kantong saya sama sekali ga’ punya diskon waktu itu, alias minim duit, pas-pasan untuk beli bensin. Tapi, saya sudah berjanji untuk harus dan harus masuk ke toko ini lain waktu dengan duit yang lumayan tebal (alay).

Oiya, tapi bukan tentang toko buku ini yang akan saya tuliskan, tetapi tentang buku yang saya beli akhirnya di toko ini. Yah, setelah beberapa hari akhirnya saya kembali ke toko buku tersebut tentunya dengan duit yang udah dipersiapkan biarpun masa aktiv diskon promonya udah abiz.

Waktu itu niat saya akan membeli buku novel saja, yang sangat saya cari adalah “Ranah 3 Warna”-nya bang Fuadi, karena seri pertamanya “Negeri 5 Menara” udah tersimpan, tersampul, dan ternikmati oleh saya, karena di toko buku2 yang ada di Mataram pun belom ada. Sayang, saat saya tanya pada mas-nya, novel tersebut belom datang juga. Akhirnya orientasi saya berpindah ke yang lain saja, liat-liat buku-buku aja dulu, sapa tahu ada yang sreg di hati n' pas buat saya.

The King Of Bollywood
Tak disangka, walau promo diskonnya udah berakhir, tapi menurut saya buku-bukunya bisa dikatakan murah lho. Misalnya saja buku yang ketebalannya 250-300an halaman harganya cuman 25.000an. Setelah beberapa waktu celingak-celinguk melihat-lihat buku, pandangan saya tertumbuk pada buku yang bersampul merah kombinasi hitam, sepertinya berkelas. Astaga itu ternyata buku bioghrapinya  Shah Rukh Khan. Judulnya “The King Of Bollywood” dengan sub judul “Kisah legendaris seorang bocah Muslim biasa yang menjadi dewa di jagat perfilman India”. Saya langsung melihat synopsis di belakang buku tersebut (tak  pelak membaca sinopis adalah strategi untuk menilai sebuauh buku), cukup mengesankan. Cover dan kertasnya pun bagi saya sangat bagus. Cover yang “mewah” dan kertas yang putih berat (ga’ tahu saya nama kertasnya). Lalu saya mengintip harganya, mantab abiiz harganya cuman 27.000an. Dari kesan yang berkesan lalu menjadi terkesan, akhirnya buku inilah tempat hati saya jatuh. Beli. Duit yang masih lumayan tak saya sia-siakan, beberapa buku akan saya beli juga. buku yang memang-memang akan bermanfaat bagi khazanah ilmu, wawasan dan sinkron dengan mimpi saya. Akhirnya saya mengambil satu buku lagi yang cukup tebal, kira-kira 400an halaman lebih tebal dari “The King of Bollywood”. Harganya beda lumayan jauh dengan buku pertama. Tapi judulnya saya rahasiakan, habisnya saya malu. Hehe. Alih-alih ingin membeli buku novel, eh malah yang dibeli buku non-fiksi aja.

Minggu, 05 Agustus 2012

Perpustakaan Dan Reality Show itu Bernama Warung Kopi



“Warung Kopi itu tidak sama dengan cafĂ© bahkan dengan kedai Starbucks (Warung Kopi versi Amerika) dari Amerika sana yang kental individualism-nya.”
Pertanyaan pertama: Kabar dan acara dari tempat mana yang paling mendekati acara talkshow seperti di televisi?
        Pertanyaan kedua: Perpustakaan mana yang paling up-to-date referensi dan yang paling merakyat sistemnya?
Jawaban untuk keduanya Bagi saya tidak ada yang lain lagi, selain di Warung Kopi.
Warung Kopi, Panggung Orang Melayu
Kalau Anda termasuk yang gemar numpang istirahat di sela-sela waktu Anda di Warung Kopi walaupun sebenarnya ga’ ngopi, tapi sekedar beli nasi bungkus saja atau sekedar merayu pedagangnya, Anda pasti sudah akrab dengan suasana khas di Warung Kopi. Ramai dengan obrolan lepas dan kental dengan suasana social masyarkatnya. Bertemu dengan orang dari pelbagai profesi, mulai dari pak tua pedagang ubi pejalan kaki, sampai pak pejabat pendidikan bermobil plat merah yang keciprat tahi. Sering juga kita bertemu preman namun humoris, dan para da’i yang apatis.
Karena pengunjungnya dari pelbagai profesi maka di Warung Kopi ini kita bisa menyaksikan, mendengar, bahkan termenung-menung kala semua lakon tokoh di tempat ini mulai eksyen. Si da’i berbicara agama dan akhirat, namun dia juga bisa menjadi seorang pengamat bisnis ketika datang si penjual HP. Si guru berbicara kurikulum dan sertifikasi guru, namun tiba-tiba menjelma menjadi anak muda ketika datang si satpam yang ngomongin Jupe. Dan lakon seperti ini sukar Anda temui di tempat keramaian lainnya sekalipun itu di Mall.

Selasa, 31 Juli 2012

"STS"


Hei, sudah ada yang beli tiket ga’? Saya juga kurang tahu itu tiket apa? Tapi dengar-dengar tiket itu disingkat STS.
***
Mungkin sudah lumayan lama pemilik akun ini tidak berbagi sekedar kata-kata, atau kalian juga bisa menyebutnya dengan tulisan. Bukannya sudah tidak bersemangat lagi menulis, putus asa melihat masa depan menjadi penulis. Bahkan saya makin yakin dengan “keajaiban” seorang penulis. Tetapi, ada kalanya sebuah susunan-susunan kata itu disesuaikan waktunya, terutama mood saya. Sebenarnya ada beberapa tulisan yang ada di file, namun saya urung mem-postingnya.

Buku Yang Gurih Segurih Cara bertutur
 Penulisnya
Saya tidak ingat entah siapa dan dimana tiba-tiba abu-abu sebuah kalimat berbunyi terlintas: “Tulisan itu bisa menjadi cermin bagi seorang penulis itu sendiri”. Atau jangan-jangan ini memang dari diriku saja. Ah, entahlah! Yang pasti kalimat tadi sangat kusetujui. Itulah mengapa, ada beberapa tulisan-tulisan yang ada di file itu urungku posting, cermin tadilah alasannya hei sahabat.

Tiba-tiba muncul pertanyaan yang terlihat sedikit tercampur rasa penasaran. Itu openingnya Gada tiket, apaan tu? STS lagi ah?

Kamis, 26 Juli 2012

Antara The Rainbow Troops Dengan Laskar Pelangi

Berbanggalah kita anak bangsa karena sebuah karya anak bangsa melaju di pentas Internasional. Laskar Pelangi yang fenomenal di negeri kita itu setidaknya adalah satu-satunya barangkali novel yang akan didistribusikan secara komersil ke khalayak pembaca dunia. Penerbit dan pendistribusiannya pun tidak main-main, novel Laskar Pelangi diusung oleh salah satu agen buku besar internasional Amerika, Amer-Asia Books, Inc,. Tucson, Arizona, USA, yang sudah menandatangani Publisher Agreement dengan penerbit Bentang Pustaka pada medio 2010. Pula dengan Kathleen Anderson Literary Management dan penerbit Farrar, Straus and Giroux (FSG). FSG merupakan penerbit terbaik Amerika. Sebanyak 21 pemenang nobel sastra yang karyanya telah diterbitkan oleh FSG antara lain adalah TS. Eliot, Pablo Neruda, Nadine Gordimer, Seamus Heaney, dan Mario Vargas Llosa

Laskar Pelangi yang diterjemahkan oleh Angie Kilbane dalam edisi Internasionalnya (bahasa Inggris) berjudul “The Rainbow Troops.” Tidak hanya ke dalam bahasa Inggris, Laskar Pelangi akan di terjemahkan pula ke pelbagai bahasa lainnya; Jerman, Jepang, Vietnam, Belanda, Prancis, Korea dan bahasa lainnya.

“Ah, ternyata Angie Kilbane! Saya mah kenal orang ini!”

Wow masak?

"Iya kenal sekilas dalam pengantarnya di dwilogi Andrea Hirata yang Padang Bulan, & Cinta di Dalam Gelas. Hehehe”

Saya bersyukur, kemarin, tepatnya tanggal 9 Juli, saya mendapatkan Laskar Pelangi edisi Internasionalnya, The Rainbow Troops, tetapi dalam bentuk Ebook, mendapatkanya tentu saja tidak gratis. Sebagai orang dari mayor Bahasa dan Seni sudah seharusnya saya atau teman-teman yang jurusannya sama dengan saya, mempunyai literatur-literatur yang menunjang khazanah saya, apalagi novel se-fenomenal ini. Masak harus kalah sama orang yang mayor-nya bukan Bahasa sih? Kan agak malu gitu! :p

Sebelum memulai membaca The Rainbow Troops alangkah cerdasnya kalau saya menyanding buku aslinya—Laskar Pelangi, supaya saya tahu ada “Siapa tahu-nya”—perbandingan isinya dengan The Rainbow Troops (betapa terobsesinya saya dengan hal-hal berbau meneliti). Cap-cus! Dan ternyata dengan kemampuan terjemahan saya yang tidak bisa dibanggakan itu, ada beberapa—malah cenderung banyak—isi yang berbeda antara apa yang ada di Laskar Pelangi dengan apa yang ada di The Rainbow Troops. Namun, bagi teman-teman pembaca yang sudah berpengalaman dengan buku fiksi terjemahan, hal ini tidak lah mutlak dirisau. Biasanya ada perbedaan isi atau makna pada buku yang asli dengan edisi terjemahannya. Hal ini tentu saja alasan dari penerjemah maupun penerbit supaya sasaran pembaca yang dituju memahami sesuai dengan pemahaman mereka secara kultur, sosial dan wawasan. Tetapi, jelas tidak akan mengabaikan dan mengaburkan pesan-pesan yang memang ingin disampaikan penulis dalam karyanya tersebut.
Beberapa perbedaan yang saya katakan di atas tadi antara lain:

1. Bab

Hampir semua judul bab yang ada di kedua novel tersebut berbeda. Misalnya, dalam Laskar Pelangi judul bab kedua Antedilivium, dalam The Rainbow Troops berjudul The Pine Tree Man (Lelaki Cemara Angin). Kalau judul bab yang pertama pada kedua novel itu, sama. Dalam Laskar Pelangi berjudul, Sepuluh Murid Baru, dalam The Rainbow Troops—Ten New Student. Tetapi, banyak yang beda.  Ok, mumpung ane lagi nyari pahala amal jariyah, ini ane kasi Ebook gratisnya gan:
Ebook The Rainbow Troops

Dalam The Rainbow Troops (TRT) babnya sampai 48, sedang dalam Laskar Pelangi (LP) hanya 34.

Kamis, 11 Agustus 2011

Resensi Novel "Ranah 3 Warna"


Judul               : Ranah 3 Warna
Penulis             : A. Fuadi
Tebal               : 473 halaman
Penerbit           : PT. Gramedia Pustaka Utama

            “Aku malu mengakui, tapi dalam hati aku mulai menyangsikan man jadda wajada yang selama ini aku percayai. Apakah memang kerja keras itu menghasilkan kesuksesan? Apa betul man jadda wajada itu hukum alam? Kenapa aku melihat orang tanpa kerja keras mendapat segala kemenangan? Tidak ushlah jauh-jauh. Aku lihat Randai temanku ini. Dia selalu bermandikan kemudahan. Dia dapat semua impiannya: sekolah di ITB, uang yang cukup, nilai kuliah yang tinggi. Bahan semakin hari nasibnya aku lihat semakin membaik. Sebaliknya, nasibku semakin hari semakin buruk!” (Alif). Inilah sedikit cuplikan dari buku kedua trilogi “Negeri 5 Menara” karya A. Fuadi. Setelah “Negeri 5 Menara”menjadi best seller tentunya sebagai sebuah novel berseri, kelanjutannya ditunggu-tunggu para penikmat novel.
            Sebelumnya dalam “Negeri 5 Menara” sebuah mantra sakti yang Alif dapatkan dari pondok madani begitu menjadi rujukan dalam menjalani hidup yakni man jadda wajad, nah, dalam novel yang satu ini menceriterakan bagaimana kehidupan Alif semasa tamat dari pondok Madani. Ternyata mantra man jadda wajada saja tidak cukup untuk mencapai kesuksesan dalam hidup. Ditengah kegalauan, keputusasaan, ia kembali terngiang, ada satu mantra lagi yang diajarkan di pondok Madani yaitu “man shabara zhafira, barang siapa yang bersabar maka ia beruntung”,  spirit-spirit dari pondok Madani inilah yang terus mengobarkan semangatnya demi menggapai impian-impiannya.
            Selalu dengan gaya bahasa yang santai dan kaya diksiA. Fuadi mampu membuat pembacanya terkadang menitikkan air mata sampai membuat kita senyam-senyum sendiri dengan celetukkan humor khasnya. Betul-betul petulangan yang menginpirasi dalam “Ranah 3 Warna” ini. Dimana ini Alif beranjak dari remaja ke dewasa. Bagaimana perjuangannya supaya tetap bisa kuliah, bagaimana ia mengejar mimpi-mimpinya hingga ke benua Amerika, dan mencoba mendapatkan cinta dari Raisa? Inilah novel yang bisa bersanding dengan si fenomenal “Laskar Pelangi”.